Guru Teladan (Kisah Nyata)
Guru adalah panutan, guru adalah teladan, dia teladan disekolah, teladan pula dimasyarakat. semoga ksah berikut menginspirasi para guru dan murid, terkhusus pemerintah
gambar ilustrasi
Pak Hamid duduk termangu.
Dipandanginya benda-benda yang berjajar di depannya dengan masygul.
Bertahun-tahun dimilikinya dengan penuh kebanggaan.
Dirawat dengan baik hingga selalu bersih dan mengkilap. Jika ada orang yang bertanya, Pak Hamid akan bercerita dengan penuh kebanggaan.
Dirawat dengan baik hingga selalu bersih dan mengkilap. Jika ada orang yang bertanya, Pak Hamid akan bercerita dengan penuh kebanggaan.
Siapa yang tidak bangga
memiliki benda-benda itu? Berbagai plakat penghargaan yang diterimanya selama
35 tahun pengabdiannya sebagai guru di daerah terpencil. Daerah terisolasi yang
tidak diminati oleh guru-guru yang lain.
Namun Pak Hamid ikhlas menjalaninya, walau dengan gaji yang tersendat dan minimnya fasilitas sekolah. Cinta Pak Hamid pada anak-anak kecil yang bertelanjang kaki dan rela berjalan jauh untuk mencari ilmu, mampu menutup keinginannya untuk pindah ke daerah lain yang lebih nyaman.
Kini masa itu sudah lewat.
Masa pengabdiannya usai sudah pada usianya yang keenam puluh. Meskipun berat
hati, Pak Hamid harus meninggalkan desa itu beserta keluarganya. Mereka tinggal
di rumah peninggalan mertuanya di pinggir kota. Jauh dari anak didik yang
dicintainya, jauh dari jalan tanah, sejuknya udara dan beningnya air yang
selama ini menjadi nafas hidupnya.
“Hei, jualan jangan sambil
melamun!” teriak pedagang kaos kaki di sebelahnya. Pak Hamid tergagap.
“Tawarkan jualanmu itu pada orang yang lewat. Kalau kamu diam saja, sampek elek ra bakalan payu!” (sampai butut gak akan laku) kata pedagang akik di sebelahnya.
“Jualanmu itu menurutku
agak aneh,” ujar pedagang kaos kaki lagi. “Apa ada yang mau beli barang-barang
seperti itu ? Mungkin kamu mesti berjualan di tempat barang antik. Bukan di
kaki lima seperti ini”.
Pak Hamid tak menjawab. Itu
pula yang sedang dipikirkannya. Siapa yang tertarik untuk membeli plakat-plakat
itu? Bukanlah benda-benda itu tidak ada gunanya bagi orang lain, sekalipun
sangat berarti baginya ?
“Sebenarnya kenapa sampai
kau jual tanda penghargaan itu ?” tanya pedagang akik.“Saya butuh uang.”
“Apa istri atau anakmu sedang sakit ?”
“Tidak. Anak bungsuku
hendak masuk SMU. Saya butuh uang untuk membayar uang pangkalnya.”
“Kenapa tidak ngutang dulu. Siapa tahu ada yang bisa membantumu.”“Sudah. Sudah kucoba kesana-kemari, namun tak kuperoleh juga.”
“Hei, bukankah kau punya gaji...eh... pensiun maksudku.”
“Habis buat nyicil motor
untuk ngojek si sulung dan buat makan sehari-hari.”
Penjual akik terdiam.
Mungkin merasa maklum, sesama orang kecil yang mencoba bertahan hidup di kota
dengan berjualan di kaki lima .
“Kau yakin jualanmu itu
akan laku?”penjual kaos kaki bertanya lagi setelah beberapa saat. Matanya
menyiratkan iba.
“Insya Allah. Jika Allah
menghendaki aku memperoleh rejeki, maka tak ada yang dapat menghalanginya.”
Siang yang panas. Terik
matahari tidak mengurangi hilir mudik orang-orang yang berjalan di kaki lima
itu. Beberapa orang berhenti, melihat-lihat akik dan satu dua orang membelinya.
Penjual akik begitu bersemangat merayu pembeli. Rejeki tampaknya lebih berpihak
pada penjual kaos kaki. Lebih dari dua puluh pasang kaos kaki terjual.
Sedangkan jualan Pak Hamid, tak satupun yang meliriknya.
Keringat membasahi tubuh
Pak Hamid yang mulai renta dimakan usia. Sekali lagi dipandanginya
plakat-plakat itu. Kegetiran membuncah dalam dadanya. Berbagai penghargaan itu
ternyata tak menghidupinya. Penghargaan itu hanya sebatas penghargaan sesaat
yang kini hanya tinggal sebuah benda tak berharga.
Sebuah ironi yang sangat
pedih. Tak terbayangkan sebelumnya. Predikatnya sebagai guru teladan bertahun
yang lalu, tak sanggup menghantarkan anaknya memasuki sekolah SMU. Sekolah
untuk menghantarkan anaknya menggapai cita-cita, yang dulu selalu dipompakan ke
anak-anak didiknya.
Saat kegetiran dan
keputusasaan masih meliputinya, Pak Hamid dikejutkan oleh sebuah suara.
“Bapak hendak menjual plakat-plakat ini?” seorang lelaki muda perlente berjongkok sambil mengamati jualan Pak Hamid. Melihat baju yang dikenakannnya dan mobil mewah yang ditumpanginya dengan supirnya, ia sepertinya lelaki berduit yang kaya raya.
“Bapak hendak menjual plakat-plakat ini?” seorang lelaki muda perlente berjongkok sambil mengamati jualan Pak Hamid. Melihat baju yang dikenakannnya dan mobil mewah yang ditumpanginya dengan supirnya, ia sepertinya lelaki berduit yang kaya raya.
Pak Hamid tiba-tiba
berharap.
“Ya...ya..saya memang menjual plakat-plakat ini,” jawab Pak Hamid gugup.
“Ya...ya..saya memang menjual plakat-plakat ini,” jawab Pak Hamid gugup.
“Berapa bapak jual setiap
satuannya?”
Pak Hamid berfikir,”Berapa ya? Bodoh benar aku ini. Dari tadi belum terpikirkan olehku harganya.”
“Berapa, Pak?”
Pak Hamid berfikir,”Berapa ya? Bodoh benar aku ini. Dari tadi belum terpikirkan olehku harganya.”
“Berapa, Pak?”
“Eee...tiga ratus ribu.”
“Jadi semuanya satu juta
lima ratus. Boleh saya beli semuanya ?”
Hah?? Dibeli semua, tanpa
ditawar lagi! Kenapa tidak kutawarkan dengan harga yang lebih tinggi? Pikir Pak
Hamid sedikit menyesal. Tapi ia segera menepis sesalnya. Sudahlah, sudah untung
bisa laku.
“Apa bapak punya yang lain.
Tanda penghargaan yang lain misalnya ...”
Tanda penghargaan yang
lain? Pak Hamid buru-buru mengeluarkan beberapa piagam dari tasnya yang lusuh.
Piagam sebagai peserta penataran P4 terbaik, piagam guru matematika terbaik se
kabupaten, bahkan piagam sebagai peserta Jambore dan lain-lain piagam yang
sebenarnya tidak begitu berarti. Semuanya ada sepuluh buah.
“Bapak kasih harga berapa
satu buahnya ?”
“Dua ratus ribu.” Hanya itu
yang terlintas di kepalanya.
“Baik. Jadi semuanya
seharga tiga juta lima ratus ribu. Bapak tunggu sebentar, saya akan ambil uang
di bank sana itu.” kata lelaki perlente itu sambil menunjuk sebuah bank yang
berdiri megah tak jauh dari situ.
“Ya...ya..saya tunggu.”
kata Pak Hamid masih tak percaya.
Menit-menit yang berlalu
sungguh menggelisahkan. Benarkah lelaki muda itu hendak membeli plakat-plakat
dan berbagai tanda penghargaannya? Atau dia hanya penipu yang menggoda saja?
Pak Hamid pasrah.
Tapi nyatanya, lelaki itu
kembali juga akhirnya dengan sebuah amplop coklat di tangannya. Pak Hamid
menghitung uang dalam amplop, lalu buru-buru membungkus plakat-plakat dan
berbagai tanda penghargaan miliknya dengan kantong plastik, seakan-akan takut
lelaki muda itu berubah pikiran.
Dipandangnya lelaki muda
itu pergi dengan gembira bercampur sedih. Ada yang hilang dari dirinya.
Kebanggaan atau mungkin juga harga dirinya. Pak Hamid kini melipat alas
dagangannya dan segera beranjak meninggalkan tempat itu, meninggalkan pedagang
akik dan kaos kaki yang terbengong-bengong. Entah apa yang mereka pikirkan.
Namun, ia tak sempat berfikir soal mereka, pikirannya sendiri pun masih kurang
dapat mempercayai apa yang baru saja terjadi.
“Lebih baik pulang jalan
kaki saja. Mungkin sepanjang jalan aku bisa menata perasaanku. Sebaik mungkin.
Aku tidak ingin istriku melihatku merasa kehilangan plakat-plakat itu. Aku
tidak ingin ia melihatku menyesal telah menjualnya. Karena aku ingin anakku
sekolah, aku ingin dia sekolah!” Pak Hamid bertutur panjang dalam hati.
Ia melangkah gontai menuju
rumah. Separuh hatinya begitu gembira, akhirnya si bungsu dapat sekolah. Tiga
setengah juta cukup untuk membiayai uang pangkal dan beberapa bulan SPP. Namun,
separuh bagian hatinya yang lain menangis, kehilangan plakat-plakat itu, yang
sekian tahun lamanya selalu menjadi kebanggaannya.
Jarak tiga kilometer dan waktu yang terbuang tak dipedulikannya. Sesampainya di rumah, istrinya menyambutnya dengan wajah khawatir.
Jarak tiga kilometer dan waktu yang terbuang tak dipedulikannya. Sesampainya di rumah, istrinya menyambutnya dengan wajah khawatir.
“Ada apa, Pak? Apa yang
terjadi denganmu? Tadi ada lelaki muda yang mencarimu. Dia memberikan bungkusan
ini dan sebuah surat. Aku khawatir sampeyan ada masalah.”
Pak Hamid tertegun.
Dilihatnya kantong plastik hitam di tangan istrinya. Sepertinya ia mengenali
kantong itu. Dibukanya kantong itu dengan terburu-buru. Dan...plakat- plakat
itu, tanda penghargaan itu ada di dalamnya! Semuanya! Tak ada yang berkurang
satu bijipun! Apa artinya ini? Apakah lelaki itu berubah pikiran? Mungkin ia
bermaksud mengembalikan semuanya. Atau mungkin harga yang diberikannya terlalu
mahal.
Batin Pak Hamid bergejolak riuh. Segera dibukanya surat yang diangsurkan istrinya ke tangannya. Sehelai kartu nama terselip di dalam surat pendek itu.
Batin Pak Hamid bergejolak riuh. Segera dibukanya surat yang diangsurkan istrinya ke tangannya. Sehelai kartu nama terselip di dalam surat pendek itu.
"Pak Hamid yang saya
cintai,Saya kembalikan plakat-plakat ini. Plakat-plakat ini bukan hanya berarti
untuk Bapak, tapi juga buat kami semua, murid-murid Bapak. Kami bangga menjadi
murid Bapak. Terima kasih atas semua jasa Bapak."
Suryo, lulusan tahun 76.
Suryo, lulusan tahun 76.
Tak ada kata-kata. Hanya
derasnya air mata yang membasahi pipi Pak Hamid.
*******
Terima kasih tak terhingga untukmu guru-guruku tercinta...
Post a Comment for "Guru Teladan (Kisah Nyata)"